SEJARAH
TIMBULNYA PERSOALAN-PERSOALAN
TEOLOGI
DALAM ISLAM
Agak
aneh kiranya kalu di katakana bahwa dalam islam, sebagi agama, persoalan yang
pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi.
Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoaln teologi. Agar
hal ini menjadi jelas perlu kita terlebih dahulu kembali sejenak ke dalam
sejarah islam, tegasnya kedalam fase perkembangan nya yang pertama.
Ketika
Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran-ajaran Islam yang beliau terima dari
Allah SWT di Mekkah, kota in mempunyai sitim kemasyrakatan yang terletak
dibawah pimpinan suku bangsa Quraisy.
Di
pertengahan ke dua dari abad ke-enam Masehi, jalan dagang Timur – Barat
berpindah dari Teluk Persia – Euphrat di Utara dan Laut Merah – Perlembahan
Neil di Selatan, ke Yaman – Hijaz – Syria. Peperangan yang senantiasa terjadi
antara byzantine dan Persia membuat jalan Utara tak selamat dan tak
menguntungkan bagi dagang. Mesir, mungki juga sebagai akibat dari peperangan Byzantine
dan Persia, berada dalm kekacauan yang mengakibatkan perjalanan perdaganagn
melalui Perlembahan Neil tidak menguntungkan pula.
Dengan
pindah nya perjalanan dagang Timur – Barat ke Semenanjung Arabia, Mekkah yang
terletak di tengah-tengah garis perjalanan dagang itu, menjadi kota dagang.
Pedagang-pedagangnya pergi ke Selatan membli barang-barang yang daang dari
Timur, yang kemudian mereka bawa ke Utara untuk di jual di syria[1].
Hal ini yang dimaksud dengan :
(ada ayat di sisni)
dalam surat Quraisy
Dari
dagang transit ini, Mekkah menjadi kaya. Dagang di kota di pegang oleh Quraisy
dan sebagi orang-orang yang berada dan berpengaruh dalam masyrakat pemerintahan
Mekkahjuga terletak pada tangan mereka. Pemerintahan dijalankan melalui Majlis
suku-bangsa yang anggota-anggotanya tersusun dari kepala-kepala suku yang di
pilih menurutkekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.
Kekuasaan
sebenarnya terletak dalam tangan kaum pedagang tinggi. Kaum pedagang tinggi
ini, untuk menjaga kepentingan-kepentingan mereka, mempunyai perasaan
solidaritas kuat yang kelihatan efeknya dalam perlawanan mereka terhadap Nabi
Muhammad, sehingga beliu dan pengikut-pengikut beliau terpaksa meninggalkan
Mekkahpergi ke Yasrib di tahun 662-M. sebagai mana di ketahui Nabi Muhammad bukanlah termasuk golonganyang
kaya, bahkan termasuk golongan Quraisy, yang keadaan ekonominya sederhana
sekali, sehingga masa kecil Nabi Muhammad terpaksa bekerja sebagai gembala
domba.
Suasana
masyarakat di Yasrib berlaina dengan suasana di Mekkah. Kota ini bukanlah kota
pedagang, tetapi kota petani. Masyarakatnya tidak homogen, tetapi terdiri dari
bangsa Arab dan bagsa Yahudi. Bansa arabnya tersusun dari dua suku bagsa,
al-Khazraj dan al-’Aus. Antara kedua suku bangsa ini senantiasa terdapat
persaingan untuk menjadi kepala dalam masyarakat Madinah. Keadaan disana tidak
menjadi aman dan untuk mengatsi persoalan dan pertengkaran mereka yang telah
berlarut-larut itu, mereka mengingini seorang hakam, yaitu pengantara yang netral.
Seketika
pemuka-pemuka kedua suku bangsa inipergi naik haji ke Mekkah, mereka mendengar
dan mengetahui kedudukan Nabi Muhammad dan dalam suatu perjumpaan dengan beliau
mereka meminta supaya Nabi pindah ke Yasrib. Melihat kerasnya tantangan yang
beliau hadapi dari pihak pedagang Mekkah, beliau akhirnya berhijrah ke yasrib.
Di kota ini, yang setelah Nabi pindah kesana di beri nama Madinah al-Nabi, beliau bertindak sebagai pengantara kedua suku
bangsa yang bertentangan itu. Lambat laun dari pengentara, Nabi menjadi kepala masyarakat Madinah,
apalagi setelah masyarakat itu,kecuali penduduk Yahudi, masuk islam.
Dari
sejarah ringkasan ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa selama di Mekkah Nabi
Muhammad hanya mempunyai fungsi kepala agama, dan tak mempunyai fungsi kepala
pemerintah, karena kekuasaan politik yang ada di sana belum dapat di jatuhkan
pada waktu itu. Di Madinah sebaliknya, Nabi Muhammad, disamping menjadi kepala
agama juga menjadi kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan
politik yang di patuhi di kota ini. Sebelum itu di Madinah belum ada kekuasaan
politik.
Di
ketika beliau wafat di tahun 632-M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya
terbatas di kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh semananjung
Arabia. Negara islam di waktu itu, seperti digambarkan oleh W.M. Watt, telah
merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan denga
(Nabi) Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin
juga masyarakat Mekkah sebagai intinya[2]
Islam
sendiri, sebagai kata R. Strothmann, di samping merupakan system agama telah
pula merupakan sistim politik, dan Nabi Muhammad di samping Rasul telah pula
menjadi seorang ahli negara[3]
Jadi
tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad
sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai Negara yang baru lahir itu,
sehingga penguburan Nabi merupakan soal yang kedua bagi mereka. Timbullah soal khilafah, soal pengganti Nabi Muhammad
sebagai kepala Negara. Sebagi Nabi atau Rasul, Nabi tentu tidak dapat di
gantikan.
Sejarah
meriwayatkan bahwa Abu bakr-lah yang di setujui oleh masyarakat Islam di waktu
itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai Negara mereka.
Kemudian abu bakr diganti oleh ’Umar Ibn al-Khattab dan ‘Umar oleh ‘Usman Ibn
‘Affan.
‘Usman
termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri
dari orang aristokrat Mekkah yang karena pengalam dagang mereka, mempunyai
pengetahuan tentang administrasi.
Pengetahuan mereka ini bermanfaat
dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar semananjung Arabia yang
bertambah banyak masuk ke bawah kekuasaan Isalam.ahli sejarah mengambarkan
‘Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi kaum
keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi
gubernur-gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam.
Gubernur-gubernur yang di angkat oleh ‘Umar Ibn al-Khattab, Khalifah yang
terkenal sebagai orang kuat dan tak memikirkan kepentingan keluarganya,
dijatuhkan oleh ‘Usman.
Tindakan-tindakan
politik yang dilakukan oleh ‘Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak
menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong
‘Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkn Khaliafah
yang ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi Khalifah atau yang
mencalonnya menjadi Khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul pada
waktu itu. Perasaan tidak senag muncul di daerah-daerah. Dari Mesir, sebagi
reaksi dijatuhkannya ‘Umar Ibn al-‘As yang digantikan oleh ‘Abdullah Ibn-Sa’d
Ibn Abi-Sarh, salah satu kau keluarga ‘Usman, sebagai gubernur Mesir, lima
ratus pemberontakan berkumpul dan kemudian bergerak ke Madinah. Perkembangan
suasana di Madinah selanjutnya membawa pada pembunuhan ‘Usman oleh
pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir
ini.
Setelah
‘Usman wafat ‘Ali, sebagai calaon terkuat, menjadi Khalifah yang ke empat.
Tetapi mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi
Khalifah, Talhah dan Zubeir dari Mekkah
yang mendapat sokongan dari ‘Aisyah. Tantangan dari ‘Aisyah – Talhah – Zibeir
ini dipatahkan ‘Ali dalam pertempuran yang terjadi di irak tahun 656. Talhah
dan Zubeir mati terbunuh dan ‘Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
Tantangan
kedua datang dari Mu’awiyah, gubenur Damaskus dan keluarga yang dekat dengan
‘Usman. Sebagai mana halnya Talhah dan Zubeir, ia tak mau mengakui ‘Ali sebagai
Khalifah. Ia menuntut kepada ‘Ali suapaya menghukum pembunuh-pembunuh ‘Usman,
bahkan ia menuduh ‘Ali turut campur
dalam soal pembunuhan itu.[4]
Salah seorang pemuka pemberontakan-pemberontakan Mesir, yang dating ke Madinah
dan kemudian membunuh ‘Usman adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat dari
‘Ali Ibn Abi Talib.[5]
Danpula ‘Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak
itu, bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi gybernur Mesir.[6]
Dalam
pertempuran yang terjadi anatara kedua golongan ini di siffin, tentara ‘Ali
dapat mendesak tentara Mu’awiyah sehingga yang tersebut akhir inibersedia-sedia
utuk lari. Tetapi tangan kanan Mua’wiyah, ‘Amr Ibn al-‘As yang terkenar sebagi
licik, minta berdamai dengan mengangkatkan al-Qur’an ke atas. Qurra’ yang ada di pihak ‘Ali mendesak
‘Ali supaya menerima tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamain dengan
mengadakan arbitrase. Sebagi pengantara diangkat dua orang: ‘Amr Ibn al-‘As
dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak ‘Ali. Dalam pertemuan
mereka, kelicikan ‘Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan
antara keduanya terdapat permufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang
bertentangan, ‘Ali dan Mu’awiyah. Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari,
sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan putusan menjatuhkan ke
dua pemuka yang bertentangan itu.
Berlainan dengan apa yang disetujui, amr Ibn al-‘As, mengumumkan hanya
menyetujui penjatuhan ‘Ali yang telah di umumkan al-Asy’ari, tetapi menolak
penjatuhan Mu’awiyah.[7]
Bagaimanapun
peristiwa ini merugikan bagi ‘Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Yang legal
menjadi Khalifah yang sebenarnya
hanyalah ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari gubernur
daerah yang tak mau tunduk kepada ‘Ali sebagi Khlifah. Dengan adanya arbitrase
ini kedudukannya telah naik menjadi Khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan
kalau putusan ini ditolak ‘Ali dan tak mau meletakkan jabatannya, sampai ia
mati terbunuh di tahun 661-M.
Siakap
‘Ali yang menerima tipu muslihat ‘Amr al-‘As untuk mengadakan arbitrase,
sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak di ssetujui oleh sebagian tentaranya.
Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat di putuskan oleh arbitrase
manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali pada hokum-hukum yang
ada dalam al-Qur’an. La hukmah illa lillah (tidak ada hukum
selain dari hokum Allah) atau La hakama
illa lillah (tidak ada pengentara selain dari Allah), menjadi semboyan
mereka[8]
Mereka
memandang ‘Ali Ibn Abi Talib telah berbuat salah, dan oleh karena itu mereka
meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal
dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau seceders.
Karena
memandang ‘Ali telah berbuat salah dan berbuat dosa, mereka melawan ‘Ali. ‘Ali
sekarang menghadapi dua musuh, yaitu : Mu‘awiyah dari satu pihak dan Khawarij
dari pihak lainnya. Karena selalu mendapat serangan dari pihak yang kedua ini,
‘Ali terlebih dahulu memutuskan usahanya untuk menghancurkan kaum Khawarij,
tetapi setelah mereka ini kalah, tentara ‘Ali telah terlali capek untuk
meneruskan pertempuran dengan Mu’awiyah. Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan
setelah ‘Ali Ibn Abi Talib wafat ia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan
sebagai Khalifah umat Islam di tahun 661-M.
Persoalan-persoalan
yang terjadi dalam lapangan poltik sebagai digambarkan di atas ini akhirnya
membawa kepada timbulnya persoaln-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa
yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari
Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
Khawarij
memandang bahwa ‘Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan
lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir, karena al-Qur’an mengatakan :
(Ada
ayat di sini)[9]
Dari ayat ini mereka mengambil
semboyan La hukmah illa lillah. Karena
ke empat pemuka Islam diatas telah dipandanga kafir dalam arti bahwa mereka
telah keluar dalam islam, yaitu murtadatau apostate,
mereka mesti dibunuh. Maka kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh
mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh ‘Ali
Ibn Abi Talib yang berhasil dalam tugasnya.
Lambat laun kaum
Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami
perobahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan
hukum dengan al-Qur’an, tetapi oaring yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kaba’ir atau capital sinners, juga dipandang kafir.
Persoalan orang
berbuat dosa inilah kemudian mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi
selanjutnya dalam Islam. Persoalannya ialah : Masihkah ia bias dipandang orang
mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu ?
Persoalan ini
menimbulkan tiga aliran teologi dala Islam. Pertama aliran Khawarij yang
mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam
atau tengasnya murtad dan oleh karena itu ia wajib dibunuh.
Aliran yang ke dua
ialah aliran murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap
masih mukmin dan bukan kaifir. Adapun soal dosa yang dilakukan nya, terserah
kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
Kaum Mu’tazilah
sebagai aliran ke tiga tidak menerima
pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir
tetapi pula buakan mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi
di antara dua posisi mukmin dan kafir yang dala bahasa Arabnya terkenal dengan
istilah al-manzilahbain al-manzilitain (posisi
diantara dua posisi).
Dalam pada itu timbul
pula dalam Islam dua aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama al-qadariah dan al-jabriah. Menurut qadariah
manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, dalam istilah
inggerisnya free will dan free act. Jabariah, sebaliknya,
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya.
Manusia dalam segala
tingkah lakunya, menurut faham jabariah, bertindak dengan paksaan dari Tuhan.
Segala gerak gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Faham inilah yang di sebut
dengan faham predestination atau fatalism, dalam istilah inggris[10].
Selanjutnya, kaum
Mu’tazilah dengan di terjemahkannya buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan
Yunani kedalam bahasa Arab, terpengaruh oleh pemakain rasio atau akal yang
mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik itu. Pemakaian dan
kepercayaan pada rasio ini dibawa oleh kaum Mu’tazilah ke dalam lapangan teolog
islam dan dengan demikian teologi mereka mengambil corak teologi liberal, dalam
arti bahwa sungguh pun kaum Mu’tazilah banyak mempengaruhi rasio, mereka tidak
meninggalkan wahyu. Dalam pemikiran-pemikiran merekaselamanya terikat kepada
wahyu yang ada dalam islam. Dan sudah barang tentu bahwa dalam soal qadariyah
dan jabariah di atas, sebagi golongan yang percaya pada kekuatan dan
kemerdekaan akal untuk berfikir, kaum Mu’tazilah mengambil faham qdariah.
Teologi mereka yang
bersifat rasionil dan liberal itu menarik bagi kaum inteligensia yang terdapat
dalam lingkungan kerajaan pemerintahan Islam Abbasiah di permulaan abad ke-9
masehi sehingga kalifah Harun al-Rasiyd (766 – 809 M) di tahun 827 M menjadikan
teologi Mu’tazialah sebagi mazhab yang resmi dianut negara. Karena telah
menjadi aliran resmi dari pemerintah, kaum Mu’tazilah bersikap menyiarkan
ajaran-ajaran merak secara paksa, terutama faham mereka bahwa al-Qur’an
bersifat makhluq dalam arti
diciptakan dan bukan bersifat qadim dalam
arti kekal[11]
dan tidak di ciptakan[12].
Aliran Mu’tazilah
bercorak rasional Ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisonil Islam,
terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hambal. Politik
menyiarkan aliran Mu’tazilah secara kekerasan berkurang setelah al-Ma’mun
meninggal di tahun 833, dan akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi
dari negara dibatalkan oleh khalifah al-Mutawwakil di tahun 856-M. Dengan
demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kedudukan mereka semula, tetapi kini
mereka telelah mempunyai lawan yang buakan sedikit di kalangan umat Islam.
Perlawanan ini kemudian mengambil bentuk aliran teologi
tradisionil yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M). Al-Asy’ari sendri pada mulanya adalah
seseorang Mu’tazilah, tetapi kemudian, menurut riwayatnya setelah melihat dalam
mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazila di cap nabi muhammad sebagai ajaran-ajaran
yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran itu dan membentuk
ajaran-ajaran baru yang kemudian terkenal dengan nama teologi al-Asy’ariyah
atau al-Asya’irah.
Di samping
aliran Asy’ariah timbul pula di samarkand suatu aliran yang bermaksud juga
menentang aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi
(w. 944 M). Aliran ini kemudian tekenal dengan nama teologi al-Maturidiah, yang
sebagai mana terlihat nanti [13]
tidaklah bersifat se tradisional aliran Asy’ariah, akan tetapi tidak pula
bersifat se liberal Mu’tazilah. Sebenarnya aliran ini terbagi dalam dua cabang,
samarkand yang bersifat agak liberaldan cabang bukhara yang bersifat tradisionil.
Selain dari
Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi ada lagi seorang teolog dari
mesir yang juga bermaksud untuk menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Teolog itu
bernama al-Tahawi (w. 933 M) dan sebagai mana halnya al-Maturidi ia juga
pengikut dari Abu Hnifah, imam dari mazhab hanafi dalam lapangan hukum Islam.
Tapi ajaran-ajaran al-Tahawi tidak menjelma sebagai aliran teologi dalam Islam.
Dengan
demikian aliaran-aliran teologi yang penting timbul dalam Islam ialah aliran
Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah. Aliran-aliran
Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejara.
Yang masih ada sampai sekarangialah aliran-aliran Asy’arih dan Maturidiah dan
keduanya di sebut Ahl Sunnah wa
al-Jama’ah. Aliran maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab
Hanafi, sedang aliran Asy’ariah pada umum nya di pakai umat Islam sunni
lainnya. Dengan maksudnya kembali faham rasionalisme ke duni Islam, yang kalau
dahulu masuk nya itu melalui kebudayaan
Yunani klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern, maka
ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbula kembali, terutama sekali di kalangan
kaum intelegensia Islam yang mendapat pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah dipakai
dalam tulisan-tulisan mengenai Islam[14].
[1] Keterangan
lebih lanjut mengenai jalan dagang
Timur-Barat ini dan pengaruh nya
terhadap Mekkah, dapat di baca dalam Philip K. Hitti, History of the Arab, London, Mac Millan & Co. Ltd., 1968, Bab IV-VII, passim, Bernard Lewis, The
Arab In History, New York, Harper & Row, 1960, Bab I, passim dan W M. Watt, Mahomet a la Macquie, terjemahan F. Douryeil, Paris, payot, 1958
hal. 21 -43.
[9] Al-Ma’idah
(5) – 44. Siapa yang tidak menentukan hikum sengan apa yang telah diturunkan
Allah, adala kafir.
[11] Qadim , sebenarnya
berarti tidak bermula dan lawan nya baqi,tidak
berkesudahan. oleh karena itu dalam baghasa inggris qadim telah dimulai
diterjemahkan menjadi enternal in the past, dan baqi enternalin fiture.
[14] Umpamanya kaum Modernis Islam India disbut neo-Mu’tazilah
oleh pengarang-pengarang barat. Robert Caspar menulis tentang “Le Renouveau du
Mo’tazilisme” dalam institut Dominicain
d’Etudes Orientales du Caire Melanges, IV (1957), 141-202.
0 komentar:
Posting Komentar