Senin, 14 September 2015

SEJARAH TIMBULNYA PERSOALAN-PERSOALAN TEOLOGI DALAM ISLAM


SEJARAH TIMBULNYA  PERSOALAN-PERSOALAN
TEOLOGI DALAM ISLAM

            Agak aneh kiranya kalu di katakana bahwa dalam islam, sebagi agama, persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Tetapi persoalan politik ini segera meningkat menjadi persoaln teologi. Agar hal ini menjadi jelas perlu kita terlebih dahulu kembali sejenak ke dalam sejarah islam, tegasnya kedalam fase perkembangan nya yang pertama.
            Ketika Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan ajaran-ajaran Islam yang beliau terima dari Allah SWT di Mekkah, kota in mempunyai sitim kemasyrakatan yang terletak dibawah pimpinan suku bangsa Quraisy.
            Di pertengahan ke dua dari abad ke-enam Masehi, jalan dagang Timur – Barat berpindah dari Teluk Persia – Euphrat di Utara dan Laut Merah – Perlembahan Neil di Selatan, ke Yaman – Hijaz – Syria. Peperangan yang senantiasa terjadi antara byzantine dan Persia membuat jalan Utara tak selamat dan tak menguntungkan bagi dagang. Mesir, mungki juga sebagai akibat dari peperangan Byzantine dan Persia, berada dalm kekacauan yang mengakibatkan perjalanan perdaganagn melalui Perlembahan Neil tidak menguntungkan pula.
            Dengan pindah nya perjalanan dagang Timur – Barat ke Semenanjung Arabia, Mekkah yang terletak di tengah-tengah garis perjalanan dagang itu, menjadi kota dagang. Pedagang-pedagangnya pergi ke Selatan membli barang-barang yang daang dari Timur, yang kemudian mereka bawa ke Utara untuk di jual di syria[1]. Hal ini yang dimaksud dengan :
                        (ada ayat di sisni)
dalam surat Quraisy
            Dari dagang transit ini, Mekkah menjadi kaya. Dagang di kota di pegang oleh Quraisy dan sebagi orang-orang yang berada dan berpengaruh dalam masyrakat pemerintahan Mekkahjuga terletak pada tangan mereka. Pemerintahan dijalankan melalui Majlis suku-bangsa yang anggota-anggotanya tersusun dari kepala-kepala suku yang di pilih menurutkekayaan dan pengaruh mereka dalam masyarakat.
            Kekuasaan sebenarnya terletak dalam tangan kaum pedagang tinggi. Kaum pedagang tinggi ini, untuk menjaga kepentingan-kepentingan mereka, mempunyai perasaan solidaritas kuat yang kelihatan efeknya dalam perlawanan mereka terhadap Nabi Muhammad, sehingga beliu dan pengikut-pengikut beliau terpaksa meninggalkan Mekkahpergi ke Yasrib di tahun 662-M. sebagai mana di ketahui  Nabi Muhammad bukanlah termasuk golonganyang kaya, bahkan termasuk golongan Quraisy, yang keadaan ekonominya sederhana sekali, sehingga masa kecil Nabi Muhammad terpaksa bekerja sebagai gembala domba.
            Suasana masyarakat di Yasrib berlaina dengan suasana di Mekkah. Kota ini bukanlah kota pedagang, tetapi kota petani. Masyarakatnya tidak homogen, tetapi terdiri dari bangsa Arab dan bagsa Yahudi. Bansa arabnya tersusun dari dua suku bagsa, al-Khazraj dan al-’Aus. Antara kedua suku bangsa ini senantiasa terdapat persaingan untuk menjadi kepala dalam masyarakat Madinah. Keadaan disana tidak menjadi aman dan untuk mengatsi persoalan dan pertengkaran mereka yang telah berlarut-larut itu, mereka mengingini seorang hakam, yaitu pengantara yang netral.
            Seketika pemuka-pemuka kedua suku bangsa inipergi naik haji ke Mekkah, mereka mendengar dan mengetahui kedudukan Nabi Muhammad dan dalam suatu perjumpaan dengan beliau mereka meminta supaya Nabi pindah ke Yasrib. Melihat kerasnya tantangan yang beliau hadapi dari pihak pedagang Mekkah, beliau akhirnya berhijrah ke yasrib. Di kota ini, yang setelah Nabi pindah kesana di beri nama Madinah al-Nabi, beliau bertindak sebagai pengantara kedua suku bangsa yang bertentangan itu. Lambat laun dari pengentara,  Nabi menjadi kepala masyarakat Madinah, apalagi setelah masyarakat itu,kecuali penduduk Yahudi, masuk islam.

            Dari sejarah ringkasan ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa selama di Mekkah Nabi Muhammad hanya mempunyai fungsi kepala agama, dan tak mempunyai fungsi kepala pemerintah, karena kekuasaan politik yang ada di sana belum dapat di jatuhkan pada waktu itu. Di Madinah sebaliknya, Nabi Muhammad, disamping menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang di patuhi di kota ini. Sebelum itu di Madinah belum ada kekuasaan politik.
            Di ketika beliau wafat di tahun 632-M daerah kekuasaan Madinah bukan hanya terbatas di kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh semananjung Arabia. Negara islam di waktu itu, seperti digambarkan oleh W.M. Watt, telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan denga (Nabi) Muhammad dalam berbagai bentuk, dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga masyarakat Mekkah sebagai intinya[2]
            Islam sendiri, sebagai kata R. Strothmann, di samping merupakan system agama telah pula merupakan sistim politik, dan Nabi Muhammad di samping Rasul telah pula menjadi seorang ahli negara[3]
            Jadi tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai Negara yang baru lahir itu, sehingga penguburan Nabi merupakan soal yang kedua bagi mereka. Timbullah soal khilafah, soal pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala Negara. Sebagi Nabi atau Rasul, Nabi tentu tidak dapat di gantikan.
            Sejarah meriwayatkan bahwa Abu bakr-lah yang di setujui oleh masyarakat Islam di waktu itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai Negara mereka. Kemudian abu bakr diganti oleh ’Umar Ibn al-Khattab dan ‘Umar oleh ‘Usman Ibn ‘Affan.
            ‘Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang aristokrat Mekkah yang karena pengalam dagang mereka, mempunyai pengetahuan tentang administrasi.

Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar semananjung Arabia yang bertambah banyak masuk ke bawah kekuasaan Isalam.ahli sejarah mengambarkan ‘Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernur-gubernur di daerah yang tunduk kepada kekuasaan Islam. Gubernur-gubernur yang di angkat oleh ‘Umar Ibn al-Khattab, Khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan tak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh ‘Usman.
            Tindakan-tindakan politik yang dilakukan oleh ‘Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong ‘Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkn Khaliafah yang ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi Khalifah atau yang mencalonnya menjadi Khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan tidak senag muncul di daerah-daerah. Dari Mesir, sebagi reaksi dijatuhkannya ‘Umar Ibn al-‘As yang digantikan oleh ‘Abdullah Ibn-Sa’d Ibn Abi-Sarh, salah satu kau keluarga ‘Usman, sebagai gubernur Mesir, lima ratus pemberontakan berkumpul dan kemudian bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada pembunuhan ‘Usman oleh pemuka-pemuka pemberontakan  dari Mesir ini.
            Setelah ‘Usman wafat ‘Ali, sebagai calaon terkuat, menjadi Khalifah yang ke empat. Tetapi mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah,  Talhah dan Zubeir dari Mekkah yang mendapat sokongan dari ‘Aisyah. Tantangan dari ‘Aisyah – Talhah – Zibeir ini dipatahkan ‘Ali dalam pertempuran yang terjadi di irak tahun 656. Talhah dan Zubeir mati terbunuh dan ‘Aisyah dikirim kembali ke Mekkah.
            Tantangan kedua datang dari Mu’awiyah, gubenur Damaskus dan keluarga yang dekat dengan ‘Usman. Sebagai mana halnya Talhah dan Zubeir, ia tak mau mengakui ‘Ali sebagai Khalifah. Ia menuntut kepada ‘Ali suapaya menghukum pembunuh-pembunuh ‘Usman, bahkan ia menuduh ‘Ali turut campur

dalam soal pembunuhan itu.[4] Salah seorang pemuka pemberontakan-pemberontakan Mesir, yang dating ke Madinah dan kemudian membunuh ‘Usman adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat dari ‘Ali Ibn Abi Talib.[5] Danpula ‘Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi gybernur Mesir.[6]
            Dalam pertempuran yang terjadi anatara kedua golongan ini di siffin, tentara ‘Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyah sehingga yang tersebut akhir inibersedia-sedia utuk lari. Tetapi tangan kanan Mua’wiyah, ‘Amr Ibn al-‘As yang terkenar sebagi licik, minta berdamai dengan mengangkatkan al-Qur’an ke atas. Qurra’ yang ada di pihak ‘Ali mendesak ‘Ali supaya menerima tawaran itu dan dengan demikian dicarilah perdamain dengan mengadakan arbitrase. Sebagi pengantara diangkat dua orang: ‘Amr Ibn al-‘As dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak ‘Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan ‘Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa. Sejarah mengatakan antara keduanya terdapat permufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan, ‘Ali dan Mu’awiyah. Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari, sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan putusan menjatuhkan ke dua pemuka yang bertentangan itu.  Berlainan dengan apa yang disetujui, amr Ibn al-‘As, mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan ‘Ali yang telah di umumkan al-Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah.[7]
            Bagaimanapun peristiwa ini merugikan bagi ‘Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyah. Yang legal menjadi Khalifah yang sebenarnya  hanyalah ‘Ali, sedangkan Mu’awiyah kedudukannya tak lebih dari gubernur daerah yang tak mau tunduk kepada ‘Ali sebagi Khlifah. Dengan adanya arbitrase ini kedudukannya telah naik menjadi Khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolak ‘Ali dan tak mau meletakkan jabatannya, sampai ia mati terbunuh di tahun 661-M.
            Siakap ‘Ali yang menerima tipu muslihat ‘Amr al-‘As untuk mengadakan arbitrase, sungguhpun dalam keadaan terpaksa, tidak di ssetujui oleh sebagian tentaranya. Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat di putuskan oleh arbitrase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali pada hokum-hukum yang ada dalam al-Qur’an.  La hukmah illa lillah (tidak ada hukum selain dari hokum Allah) atau La hakama illa lillah (tidak ada pengentara selain dari Allah), menjadi semboyan mereka[8]
            Mereka memandang ‘Ali Ibn Abi Talib telah berbuat salah, dan oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah Islam terkenal dengan nama al-Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri atau seceders.
            Karena memandang ‘Ali telah berbuat salah dan berbuat dosa, mereka melawan ‘Ali. ‘Ali sekarang menghadapi dua musuh, yaitu : Mu‘awiyah dari satu pihak dan Khawarij dari pihak lainnya. Karena selalu mendapat serangan dari pihak yang kedua ini, ‘Ali terlebih dahulu memutuskan usahanya untuk menghancurkan kaum Khawarij, tetapi setelah mereka ini kalah, tentara ‘Ali telah terlali capek untuk meneruskan pertempuran dengan Mu’awiyah. Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan setelah ‘Ali Ibn Abi Talib wafat ia dengan mudah dapat memperoleh pengakuan sebagai Khalifah umat Islam di tahun 661-M.
            Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan poltik sebagai digambarkan di atas ini akhirnya membawa kepada timbulnya persoaln-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.
            Khawarij memandang bahwa ‘Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir, karena al-Qur’an mengatakan :

(Ada ayat di sini)[9]
Dari ayat ini mereka mengambil semboyan La hukmah illa lillah. Karena ke empat pemuka Islam diatas telah dipandanga kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dalam islam, yaitu murtadatau apostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum Khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh ‘Ali Ibn Abi Talib yang berhasil dalam tugasnya.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perobahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi oaring yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-kaba’ir atau capital sinners, juga dipandang kafir.
Persoalan orang berbuat dosa inilah kemudian mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam. Persoalannya ialah : Masihkah ia bias dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu ?
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dala Islam. Pertama aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tengasnya murtad dan oleh karena itu ia wajib dibunuh.
Aliran yang ke dua ialah aliran murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kaifir. Adapun soal dosa yang dilakukan nya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya.
Kaum Mu’tazilah sebagai aliran ke tiga  tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi pula buakan mukmin. Orang yang serupa ini kata mereka mengambil posisi di antara dua posisi mukmin dan kafir yang dala bahasa Arabnya terkenal dengan istilah al-manzilahbain al-manzilitain (posisi diantara dua posisi).
Dalam pada itu timbul pula dalam Islam dua aliran dalam teologi yang terkenal dengan nama al-qadariah dan  al-jabriah. Menurut qadariah manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, dalam istilah inggerisnya free will dan free act. Jabariah, sebaliknya, berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.
Manusia dalam segala tingkah lakunya, menurut faham jabariah, bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Faham inilah yang di sebut dengan faham predestination atau fatalism, dalam istilah inggris[10].
Selanjutnya, kaum Mu’tazilah dengan di terjemahkannya buku-buku falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani kedalam bahasa Arab, terpengaruh oleh pemakain rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani klasik itu. Pemakaian dan kepercayaan pada rasio ini dibawa oleh kaum Mu’tazilah ke dalam lapangan teolog islam dan dengan demikian teologi mereka mengambil corak teologi liberal, dalam arti bahwa sungguh pun kaum Mu’tazilah banyak mempengaruhi rasio, mereka tidak meninggalkan wahyu. Dalam pemikiran-pemikiran merekaselamanya terikat kepada wahyu yang ada dalam islam. Dan sudah barang tentu bahwa dalam soal qadariyah dan jabariah di atas, sebagi golongan yang percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berfikir, kaum Mu’tazilah mengambil faham qdariah.
Teologi mereka yang bersifat rasionil dan liberal itu menarik bagi kaum inteligensia yang terdapat dalam lingkungan kerajaan pemerintahan Islam Abbasiah di permulaan abad ke-9 masehi sehingga kalifah Harun al-Rasiyd (766 – 809 M) di tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazialah sebagi mazhab yang resmi dianut negara. Karena telah menjadi aliran resmi dari pemerintah, kaum Mu’tazilah bersikap menyiarkan ajaran-ajaran merak secara paksa, terutama faham mereka bahwa al-Qur’an bersifat makhluq dalam arti diciptakan dan bukan bersifat qadim dalam arti kekal[11] dan tidak di ciptakan[12].
Aliran Mu’tazilah bercorak rasional Ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisonil Islam, terutama golongan Hambali, yaitu pengikut-pengikut mazhab Ibn Hambal. Politik menyiarkan aliran Mu’tazilah secara kekerasan berkurang setelah al-Ma’mun meninggal di tahun 833, dan akhirnya aliran Mu’tazilah sebagai mazhab resmi dari negara dibatalkan oleh khalifah al-Mutawwakil di tahun 856-M. Dengan demikian kaum Mu’tazilah kembali kepada kedudukan mereka semula, tetapi kini mereka telelah mempunyai lawan yang buakan sedikit di kalangan umat Islam.
Perlawanan ini  kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisionil yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M).  Al-Asy’ari sendri pada mulanya adalah seseorang Mu’tazilah, tetapi kemudian, menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran Mu’tazila di cap nabi muhammad sebagai ajaran-ajaran yang sesat, al-Asy’ari meninggalkan ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran-ajaran baru yang kemudian terkenal dengan nama teologi al-Asy’ariyah atau al-Asya’irah.
Di samping aliran Asy’ariah timbul pula di samarkand suatu aliran yang bermaksud juga menentang aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini kemudian tekenal dengan nama teologi al-Maturidiah, yang sebagai mana terlihat nanti [13] tidaklah bersifat se tradisional aliran Asy’ariah, akan tetapi tidak pula bersifat se liberal Mu’tazilah. Sebenarnya aliran ini terbagi dalam dua cabang, samarkand yang bersifat agak liberaldan cabang bukhara yang bersifat tradisionil.
Selain dari Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi ada lagi seorang teolog dari mesir yang juga bermaksud untuk menentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Teolog itu bernama al-Tahawi (w. 933 M) dan sebagai mana halnya al-Maturidi ia juga pengikut dari Abu Hnifah, imam dari mazhab hanafi dalam lapangan hukum Islam. Tapi ajaran-ajaran al-Tahawi tidak menjelma sebagai aliran teologi dalam Islam.
Dengan demikian aliaran-aliran teologi yang penting timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah. Aliran-aliran Khawarij, Murjiah dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejara. Yang masih ada sampai sekarangialah aliran-aliran Asy’arih dan Maturidiah dan keduanya di sebut Ahl Sunnah wa al-Jama’ah. Aliran maturidiah banyak dianut oleh umat Islam yang bermazhab Hanafi, sedang aliran Asy’ariah pada umum nya di pakai umat Islam sunni lainnya. Dengan maksudnya kembali faham rasionalisme ke duni Islam, yang kalau dahulu masuk nya  itu melalui kebudayaan Yunani klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran Mu’tazilah mulai timbula kembali, terutama sekali di kalangan kaum intelegensia Islam yang mendapat pendidikan Barat. Kata neo-Mu’tazilah dipakai dalam tulisan-tulisan mengenai Islam[14].


[1] Keterangan lebih lanjut mengenai  jalan dagang Timur-Barat  ini dan pengaruh nya terhadap Mekkah, dapat di baca dalam Philip K. Hitti, History of the Arab, London, Mac Millan & Co. Ltd.,  1968, Bab IV-VII, passim, Bernard Lewis, The Arab In History, New York, Harper & Row, 1960, Bab I,  passim dan W M. Watt, Mahomet a la Macquie, terjemahan F. Douryeil, Paris, payot, 1958 hal. 21 -43.
[2]Muhammad prophet and Statesman, Oxford University Press, 1961 hal, 222/3.
[3] Lihat Shorter Encyclopedia of Islam, leiden, E.J. Brill, 1961, hal, 534
[4] Tarikh al-Tabari (selanjutnya disebut Tarikh), Kairo, Dar al-Ma’arif 1963, jilid V, hal 7
[5] Ibid, Jilid IV, hal 353, 357, 391, dan 393, Jilid III, hal 426, dan Jilid V, hal 154.
[6] Ibid, Jilid IV, hal 555
[7] Ibid, Jilid V, hal 70-71.
[8] Ibid, Jilid IV, hal 55 dan 57.
[9] Al-Ma’idah (5) – 44. Siapa yang tidak menentukan hikum sengan apa yang telah diturunkan Allah, adala kafir.
[10] Lebih lanjut mengenai hal ini dapat di baca  dalam bab IV.
[11] Qadim , sebenarnya berarti tidak bermula dan  lawan nya baqi,tidak berkesudahan. oleh karena itu dalam baghasa inggris qadim  telah dimulai diterjemahkan  menjadi enternal in the past, dan baqi enternalin fiture.
[12] Hal ini dibicarakan lebih lanjut , infra hal. 46 dst. 58 dst. Dan 137 dst.
[13] Uraian lebih lanjutlihat hal. 75 dts
[14] Umpamanya kaum Modernis Islam India disbut neo-Mu’tazilah oleh pengarang-pengarang barat. Robert Caspar menulis tentang “Le Renouveau du Mo’tazilisme” dalam institut Dominicain d’Etudes Orientales du Caire Melanges, IV (1957), 141-202.



0 komentar:

Posting Komentar